Minggu, 06 Maret 2011

KEMBALI PADA KOMITMEN DASAR IMM; MANIFESTO “AKADEMISI ISLAM YANG BER-AKHLAQUL KARIMAH”


Tahun ini, IMM akan memperingati milad-nya yang ke-47 M. Dalam perjalanan usianya yang begitu cukup panjang, IMM telah melalui berbagai macam persoalan dan proses dinamika di setiap dimensi pergerakannya, baik itu secara sosial, budaya, dan politik kebangsaan. Kendati pun demikian, dari segi subtansial pergerakannya IMM masih saja mendapatkan suatu permasalahan mendasar yang tentunya pula telah memunculkan suatu pertanyaan mendalam bagi kita. Yaitu, apakah kader-kader IMM telah menempatkan dirinya sebagai identitas yang sesuai dengan harapan visi besarnya? Apakah kader-kader yang masuk dalam bingkai ikatan ini memang terdorong atas dasar kepribadian yang sadar bahwa dirinya harus berperan sebagai aktor-aktor perubahan di lingkungannya? Saya meyakini bahwa setiap kader yang menandakan identitasnya sebagai kader IMM, telah memiliki citra dan karakteristik beragam, baik dalam gagasan serta harapannya. Namun, apakah dengan adanya keberagaman motivasi dalam menggeluti perjalanan ideologis ini kita telah menempatkan pada suatu alur yang sesuai dengan visi besarnya IMM: “Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berhlak mulia...”?

Hal di atas sangat layak untuk menjadi pertanyaan yang dimunculkan saat ini, karena sampai dengan hari ini, mengingat kurangnya minat kader IMM dalam mengkaji berbagai macam kerangka berpikir tentang luasnya khazanah keilmuan, telah membawa sedikit demi sedikit penandaan peran dan identitas IMM sebagai gerakan intelektual (harakatul fikri) tergeser. Sehingga sangat mustahil, dalam mengupayakan arah pada tumpuan besar harapan menjadi sebagai cendikiawan yang berpribadi hal ini akan semakin sulit untuk diwujudkan. Walaupun telah melahirkan berbagai generasi-kegenerasi, memang ada berbagai macam proses yang mengarah pada pengkajian yang bercorak akademis (keilmuan). Tapi, terkadang dalam proses pengkajian yang bercorak ke arah gerakan pemikiran tersebut hanya mencerminkan sebagai suatu rutinitas yang hampa dan kosong, tidak terinternalisasi secara mendalam dan nyata pada kesadaran dirinya.

Sangat disayangkan, tindakan aksi dalam mewujudkan suatu budaya akademis atau keilmuan (cultural academic) saat ini seakan telah terjebak pada suatu mekanisme yang bersifat programer, suatu konstruksi kebudayaan yang bercorak formalitas dan cenderung instrumentalistik. Model pembelajaran dalam memahami keadaan realitas dalam kehidupan sehari-hari di lingkungannya semakin terlihat abstrak, misalnya dalam melihat fenomena masalah dehumanisasi, hedonisme, konsumerisme, dan persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya semakin luntur dalam pembahasan komunikasi ilmiah(sience of communication) di kalangan kader-kader IMM. Kehadiran Kita sendiri, akhirnya hanya sekedar menjadi audience yang pasif. Ada pun memang terkadang usaha kita untuk menjadi aktor, hanya terlihat layaknya seorang petani gunung yang turun ke dasar sebuah desa, kemudian setelah itu kembali lagi ke atas gunung tanpa ada tindakan lanjut (follow up) yang seakan-akan sudah selesai.

Pernyataan seperti itu, saya kira sudah saatnya lagi bagi kita untuk mengembalikan komitmen kita pada maksud dan tujuan IMM yang sudah terumuskan secara sistemik dan administratif. Sebab jika kita tidak mengembalikan semangat pada komitmen ini, merefleksikan tentang apa motivasi kelahiran IMM yang penuh dengan dukungan Muhammadiyah sebagai salah satu wadah ideologis pelebaran sayap dakwah ke-Muhammadiyah-annya mungkin saat ini tidak terbangun. Maka hal ini IMM akan mengalami sesuatu yang sulit untuk menemukan identitasnya sebagai harakatul fikri, karena di dalamnya sendiri saja, parta kader IMM tidak berani untuk menanamkan spirit gerakan tersebut. Hingga pun,  apa yang terlihat selama ini atas kehadirannya, IMM hanya terlihat sebagai simbol yang penuh dengan kehampaan. Inilah lemahnya pemikiran kita yang jarang sekali membaca secara mendalam tentang motivasi gerakan IMM sebagai gerakan yang berusaha untuk membentuk suatu budaya masyarakat yang beridentitaskan akademisi (academicus society), sebuah usaha pemikiran yang cukup lama untuk diwujudkan, kini seakan-akan semuanya telah tenggelah dalam lautan padang pasir yang kosong dan gersang.


Akademisi (Cendikiawan) Yang Berpribadi
Secara bahasa, istilah akademisi ditunjukan sebagai seseorang yang telah memiliki status berpendidikan tinggi, atau dalam bahasa populernya adalah seorang mahasiswa. Berbeda secara artian bahasa, kata akademisi yang dimaksud dalam tulisan ini akan di arahkan dalam pemaknaan yang sama atau sepadan dengan istilah cendikiawan, intelektual, atau pemikir. Karena, secara subtansial tentang apa yang dikmaksdukan oleh motivasi hadirnya IMM di tubuh Muhammadiyah dan ranah kebangsaan adalah menghadirkan kader-kader muda Muhammadiyah yang mantap secara intelektual.

Harus diakui bahwa, betapa pentingnya suatu agagasan atau ide yang berasalkan dari suatu pemikiran telah lahir dalam proses perjalanan sejarah peradaban kemanusiaan. Sebab, jika peradaban kemanusiaan tanpa adanya suatu cita-cita yang lahir dari karya pemikiran, sudah tentu tidak akan ada kemajuan. Sedangkan perginya akan suatu cita-cita peradaban, tak lain pula merupakan suatu buah yang dikonstruksi dari pemikiran para cendikiawan yang mengarah pada perubahan sosial-budaya dan selalu menggelisahkan kehidupan di lingkungannya.

Secara populis, mereka yang disebut sebagai aktor-aktor perubahan sosial-budaya ini adalah para cendikiawan, intelektual, atau para pemikir, Merekalah para tangki pemikiran yang mengkonstruk suatu budaya-kemasyarakatan sebagai usaha untuk mengubah keadaan masyarakat dari keadaan sebelumnya, dengan kadar kualitas pemikirannya yang mendalam, mereka bisa menentukan arah perjalanan sejarah kemanusiaan, lingkungan, bahkan bangsanya. Maka sangat tak heran sekali, munculnya nama-nama pemikir besar dalam sejarah peradaban kemanusiaan, tidak lain karena kegigihan dan sumbangsih pemikiran mereka tajam dalam memikirkan keadaan lingkungannya, sehingga bisa dibawa pada suatu ruang perubahan.

Cendikiawan berpribadi, menandakan dirinya sebagai tangki pemikiran yang disumbangkan secara total untuk perubahan lingkungan dan masyarakatnya. Secara ideal, ia memiliki karakter dan kepribadian yang ahli serta bijaksana, yang bisa menempatkan kepribadiannya untuk masyarakat dan selalu ada bersama masyarakat. Mereka muncul dalam pergulatan sehari-hari untuk memenuhi amanah rakyat sesuai dengan keadaan tempat dan waktu tertentu. Seperti, mengagendakan siasat politik untuk kepentingan masyarakat tertentu, mengaktualisasikan pembelaannya terhadap hak-hak masyarakat minoritas, pencemaran lingkungan, atau pun yang lainya, yang berkenaan dengan persoalan-persoalan umum yang menimpa keadaan masyarakat di sekitarnya.

Peran cendikiawan yang memiliki kepribadian bukanlah peran cendikiawan yang hanya bisa menempatkan dirinya pada tempat yang jauh dengan kondisi masyarakatnya, apalagi para cendikiawan tersebut bersifat elitis, bahkan telah melakukan “persetubuhan” dengan struktur kekuasaan yang hegemonik. Karena tindakan kecendikiawanan seperti ini akan sangat berbahaya, dengan segala macam kapasitas kekuatan pemikirannya itu, tentunya akan memperkuat situasi struktur hegemonik yang bercorak status quo. Kasus ini telah terjadi di Jerman, ketika Martin Heideger, salah seorang intelektual fenomenal yang telah melakukan “persetubuhan” dengan Partai Nazi di bawah kekuatan yang dikendalikan oleh Adolf Hitler. Tindakan yang dilakukan oleh Heideger adalah suatu tindak kecendikiawanan yang ditandakan khianat. Karena tindakan kecendikiawanan seperti itu tidak menampilkan suatu sifat yang netral, akan tetapi malah memaksakan dirinya untuk melakukan pembenaran-pembenaran politik bagi kekuasaan.

Lalu  pertanyaannya untuk negeri kita, dengan keadaan kondisi kehidupan masyarakat yang serba timpang ini, apakah masih ada para cendikiawan yang masih mau mengatasnamakan atau bahkan rela untuk berdiri di tengah-tengah bersama masyarakatnya dalam mengahadapi kekuatan politis yang hegemonik? Bukankah seorang cendikiawan itu selalu diidentikan dengan semangat perubahan yang membebaskan? Jika memang ada, berarti apa yang telah dikatakan oleh Antonio Gramsci tentang akan hadirnya peran “intelektual organik” dalam menyelamatkan situasi masyarakat yang serba terpuruk itu masih relevan untuk dijadikan spirit perjuangan yang selalu membela untuk kepentingan masyarakat secara umum, Atau yang disebut dalam ramalan Ronggo Warsito yaitu akan hadirnya ratu adil, yang akan membawa keadaan masyarakat pada sebuah zaman yang mantap stabilitasnya dan penuh dengan kemakmuran, yaitu zaman kalasuba. Namun jika tidak, habislah kita semua. Termakan oleh gigitan kendali kekuasaan yang hegemonik.

Memang upaya untuk menciptakan sosok-sosok cendikiawan yang rela untuk meluangkan waktunya secara total bagi masyarakat sangatlah sulit untuk dilakukan pada saat ini. Kita mengakui bahwa keadaan kehidupan masyarakat saat ini cenderung lebih bersifat mekanis di bawah kekuatan teknologi modern serba atomatis dan standaritatif. Lalu, apakah dengan ketahuan kita terhadap kenyataan seperti ini kita akan larut secara total pada kemapanan zaman yang cenderung mengasingkan kemanusiaan kita? Saya rasa tidak. Karena jika kita terlalu larut pada kemapanan zaman yang serba mekanistis saat ini, kita akan kehilangan paradigma kritis kita, sebagai refleksi tajam untuk terus-menerus melakukan kritik serta mengarah pada suatu aksi pembebasan.


Aksi Pembebasan Adalah Misi Kenabian
Upaya melakukan suatu tindakan aksi pembebasan terhadap masyarakat adalah sesuatu panggilan moral dan spirit untuk melanjutkan misi para nabi-nabi terdahulu. Lihatlah bagaimana usaha propaganda Ibrahim yang membonkar struktur dominan kekuasaan Namrud. Atau pun upaya Musa yang menerapkan semangat “exodus”, spirit untuk membebaskan kaum Bani Israil yang tertindas serta mengahadapkannya dengan struktur kekuasaan Fir’aun yang tiran dan arogan. Begitu juga bagaimana Isa Almasih yang menebarkan pesan ajaran cinta-kasih kepada kaummnya di tengah keadaan masyarakat yang berada di bawah kendali struktur hegemonik Imperium Romawi. Serta Muhammad s.a.w. dengan semangat partisipatorisnya yang bersedia dan rela untuk hidup bersama kaum miskin dan tertindas (al-masakin wal mustada’fin).

Semangat pembebasan yang dilakukan oleh para nabi-nabi terdahulu seharusnya menjadi suatu inspirasi gerakan dalam arungan langkan perjuangan ideologis IMM. Sering sekali kita tidak menyadari bahwa saat ini, masyarakat kita telah terjebak dalam alur hegemonisasi global yang mengakibatkan masyarakat kita menjadi terbelakang. Kemiskinan, pembodohan, kelaparan, dan ketidak-kritisan masyarakat seakan-akan tidak bisa dipecahkan. Bukankah hal itu merupakan PR besar bagi IMM, yang secara kelembagaan memiliki identitas sebagai gerakan moral yang berupaya membawa peradaban masyarakat terbelakang menjadi peradaban masyarakat yang utama (high civilization). Lalu, pertanyaan selanjutnya, dimanakah saat ini IMM? Bukankah selama ini kita telah menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri akan kuatnya arus dehumanisasi? Yaitu, dimana keterbelakangan masyarakat secara luas yang dimunkarkan secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya para manusia tak beradab.

Hari ini, dalam rangka menuju milad-nya yang ke-47 tahun, IMM perlu meluaskan jaringannya yang luas bersama beberapa unsur elemen-elemen yang sejalan untuk memanifestasikan humanisasi yang diiringi oleh spirit religiusitas. Di sisi lain perlu juga kembali memoleskan wajahnya sebagai gerakan pemikiran yang dapat melihat problem pada realitas secara radikal sampai pada akarnya. Dengan kekuatan pemikiran yang mendalam ini, maka IMM akan mengetahui bahwa apa sebenarnya yang menjadi titik masalah dalam perjalanan kemanusiaan saat ini. Dalam melihat sumber dari titik persoalannya, bukan berarti IMM hanya menempatkan dirinya sekedar tahu, Akan tetapi, harus juga di manifestasikan sebagai tindakan aksi yang nyata serta masif dalam menyuarakan persoalan-persoalan kemanusiaan. Karena, jika IMM hanya menempatkan dirinya untuk sekedar tahu, IMM akan terjebak pada suatu sikap meminjm istilah Karl Marx sebagai kesadaran palsu.

Tidak ada jalan lain lagi bagi IMM untuk berusaha menempatkan kembali komitmen dasarnya sebagai gerakan yang berusaha untuk mewujudkan akademisi Islam yang berahlak mulia, sesuai dengan cita-cita persyarikatan Muhmmadiyah. Dalam mengusahakan untuk kembali pada komitment dasarnya, tentunya IMM perlu melahirkan kader-kadernya yang siap untuk berhadapan dengan segala tantangan zaman yang semakin kompleks, di sisi lain pun tidak pula untuk melupakan semangat pembaruan gagasan keislaman yang berkemajuan. Karena jika tidak seperti itu, saya rasa IMM akan semakin mengalami keterasingan dari identitasnya sebagai gerakan intelektual (harakatul fikri).

Akhirnya, rumusan maksud dan tujuan IMM untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berahlak mulia, harus ditempatkan pada kenyataan yang riil, bukan suatu gagasan yang hanya di tempatkan pada ruangan kosong atau hanya sekedar di atas meja, akan tetapi harus kita usahakan dengan sekuat tenaga agar bisa menjadi suatu manifestasi kebuadayaan yang dapat membawa manusia kepada pendewasaanya. Wallahu’alam bi al-shawab!

Selamat Milad!

1 komentar: